Selasa, 27 November 2012

Teori Organisasi Umum

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

            Organisasi merupakan sub dari suatu lembaga. Organisasi itu sendiri adalah kelompok orang yang secara bersama – sama ingin mencapai tujuan yang sama, pada hakikatnya organisasi adalah adanya orang – orang yang usahanya harus dikoordinasikan tersusun dari sejumlah sub system yang saling berhubungan dan saling berkerja sama atas dasar pembagian kerja, peran dan serta mempunyai tujuan tertentu. 
Seperti telah diuraikan di atas bahwa organisasi memiliki tiga unsur dasar, dan secara lebih rinci organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal dan saling mengenal,
b. Adanya kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan kesatuan kegiatan,
c. Tiap-tiap orang memberikan sumbangan atau kontribusinya berupa; pemikiran, tenaga, dan lain-lain,
d. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan,
e. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
PETA ( Pembela Tanah Air )

PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1944 atas usul Gotot Mangkupraja kepada Letjend. Kumakici Harada ( Panglima Tentara Ke - 16). PETA di Sumatera dikenal dengan Gyugun.
Pembentukan PETA ini berbeda dengan organisasi lain bentukan Jepang. Anggota PETA terdiri atas orang Indonesia yang mendapat pendidikan Militer Jepang. PETA bertugas mempertahankan Tanah Air Indonesia. PETA merupakan tentara garis kedua. Di Jawa dibentuk 50 Batalion PETA. Jabatan Komando Batalion dipegang oleh orang indonesia tetapi setiap Komandan ada Pelatih dan Penasihat Jepang. Tokoh – Tokoh PETA yang terkenal antara lain Supriyadi, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, dan Jenderal Ahmad Yani. 

B. MASALAH   

            Yang jadi permasalahan pada PETA yaitu mengapa PETA harus dibubarkan, padahal PETA sudah termasuk suatu organisasi yang positif dimata masyarakat karena pembelaan peta terhadap tanah air merupakan suatu tindakan baik, yang akan dibahas dalam BAB II

BAB II
PEMBAHASAN
       A. LANDASAN TEORI

Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam)

B. PEMBAHASAN
Pemberontakan batalion PETA di Blitar
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemberontakan PETA BlitarPada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun Heiho. Supriadi, pimpinan pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan sejarah, Muradi, tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kempeitai (PM), diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETASumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tanggal 7 September 1943, Gatot Mangunpraja ,mengajukan permohonan kepada Gunseikan yang menurut sumber tertentu ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Gatot memohon agar dibentuk kesatuan bersenjata di kalangan penduduk sendiri. Beberapa hari kemudian sejumlah alim ulama juga mengajukan permohonan yang sama mereka diantaranya K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Moh. Sadri yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Dengan alasan itu, kemudian Saiko Syikikan dan Gunseikan menyetujui pendirian PETA.
Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
1. Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
2. Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
3. Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima
Tentara Jepang 
4. Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban
mempertahankan wilayahnya (syuu)
5. Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu 

Bendera PETA
Pengumuman mengenai pembentukan PETA itu dinyatakan bahwa seluruh anggotanya, baik prajurit maupun perwira terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan PETA akan dibentuk pada setiap Syu (Keresidenan) untuk membela daerah tersebut. Penyebarluasan berita pembentukan PETA dan syarat-syarat menjadi anggota PETA ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa. Penyebabnya karena PETA tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti yang di haruskan Heiho, tetapi lebih mengutamakan kecakapan memimpin dan mengatur rombongan.
Mengenai umur hanya disebutkan untuk calon Komandan Peleton harus berumur dibawah 30 tahun dan untuk calon Komandan Regu dan Prajurit harus di bawah 25 tahun. Namun, mereka yang diterima menjadi Komandan Batalyon adalah tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh kuat pada suatu daerah tertentu seperti tokoh-tokoh agama, guru dan sebagainya. Para calon perwira dilatih di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Resentai mulai bulan Oktober 1943, dan selanjutnya pada bulan April, bulan Juli 1944, dan seterusnya. Mereka dibagi dalam tiga kelompok, yaitu calon Komandan Batalyon (Daidanco), Komandan Kompi (Gudanco), dan Komandan Peleton (Syudanco). Angkatan pertama menyelesaikan latihan dan dilantik pada bulan Desember 1943.
Sebenarnya untuk apa Jepang menyetujui pembentuka PETA? Dari sudut pandang Jepang, PETA dimaksudkan sebagai alat untuk mempertahankan Indonesia terhadap kemungkinan pendaratan Sekutu.
Di seluruh wilayah yang didudukinya, Jepang menderita kekalahan yang mengejutkan, dan menjadi lemah. Mereka ingin sekali memberi dukungan pada prajurut mereka dengan para pemuda Indonesia yang tidak pernah mendapat pendidikan Belanda dan dengan demikian tidak memiliki perasaan pro Barat. Secara teoritis, orang Indonesia yang sederhana, tidak berpendidikan dan bersifat kekanak-kanakan itu akan mudah diperlakukan sesuai kehendak Jepang. Mereka akan diindoktrinasi untuk membenci Barat dan dilatih bagaimana bertempur.
Komando Tinggi Jepang menyetujui pembentukan PETA, agar mempersiapkan penduduk asli untuk melawan Sekutu seandainya invasi mereka berlangsung. Jauh lebih baik, demikian pikir para Jenderal Jepang itu, darang bangsa Indonesia yang tertumpah daripada darah bangsa Jepang.
Bagi Soekarno, PETA merupakan kesempatan bagi rakyat yang tidak terlatih menjadi tentara yang andal. Untuk pertama kali bangsa Indonesia belajar menggunakan senapan, untuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka akan diajari disiplin militer, dilatih perang gerilya, bagaimana menghadang musuh, bagaimana menembakan senapan dalam posisi merangkak, bagaimana merakit granat buatan sendiri dengan menggunakan tempurung yang diisi bensin. Mereka berlatih bagaimana berperang melawan musuh- siapapun musuh yang mereka hadapi.
Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk mencari calon-calon perwira. Dia segera memanfaatkan kesempatan ini. Argumentasinya, bagwa seseorang tidak akan secara sukarela mempertahankan negerinya, kecuali dia seorang patriot yang penuh semangat. Perasaan kebencian terhadap Sekutu yang akan ditanamkan Jepang harus diperkuat dengan perasaan cinta kepada Tanah Air yang sifatnya positif sebagaimana yang diajarkannya.
Setelah diyakinkan seperti itu, Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk memberikan dan menjamin nama-nama orang yang memiliki kesetiaan terhadap Tanah Air.
Soekarno pun memilih para pemimpin seperti Gatot Mangunpraja, seorang pemberontak PNI yang bersamanya dipenjara di tahun 1929. Soekarno juga memilih orang-orang muda yang dapat dikendalikannya dan nantinya dapat menjadi pahlawan-pahlawan revolusi. Soekarno lah yang pada akhir 1943 mengusulkan orang-orang yang nantinya menjadi kolonel dan jenderal dalam Tentara Nasional Indonesia.
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;
(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.
Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya.
Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.

BAB III
PENUTUP

            A. KESIMPULAN
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;
(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.
Inti dari pembentukan PETA yaitu untuk membela tanah air agar masyarakat terlindungi dari bahaya apapun.

Teori Organisasi Umum


BAB I
PENDAHULUAN 

A.  LATAR BELAKANG

            Organisasi merupakan sub dari suatu lembaga. Organisasi itu sendiri adalah kelompok orang yang secara bersama – sama ingin mencapai tujuan yang sama, pada hakikatnya organisasi adalah adanya orang – orang yang usahanya harus dikoordinasikan tersusun dari sejumlah sub system yang saling berhubungan dan saling berkerja sama atas dasar pembagian kerja, peran dan serta mempunyai tujuan tertentu. 
Seperti telah diuraikan di atas bahwa organisasi memiliki tiga unsur dasar, dan secara lebih rinci organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal dan saling mengenal,
b. Adanya kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan kesatuan kegiatan,
c. Tiap-tiap orang memberikan sumbangan atau kontribusinya berupa; pemikiran, tenaga, dan lain-lain,
d. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan,
e. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
PETA ( Pembela Tanah Air )

PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1944 atas usul Gotot Mangkupraja kepada Letjend. Kumakici Harada ( Panglima Tentara Ke - 16). PETA di Sumatera dikenal dengan Gyugun.
Pembentukan PETA ini berbeda dengan organisasi lain bentukan Jepang. Anggota PETA terdiri atas orang Indonesia yang mendapat pendidikan Militer Jepang. PETA bertugas mempertahankan Tanah Air Indonesia. PETA merupakan tentara garis kedua. Di Jawa dibentuk 50 Batalion PETA. Jabatan Komando Batalion dipegang oleh orang indonesia tetapi setiap Komandan ada Pelatih dan Penasihat Jepang. Tokoh – Tokoh PETA yang terkenal antara lain Supriyadi, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, dan Jenderal Ahmad Yani.

B. MASALAH

            Yang jadi permasalahan pada PETA yaitu mengapa PETA harus dibubarkan, padahal PETA sudah termasuk suatu organisasi yang positif dimata masyarakat karena pembelaan peta terhadap tanah air merupakan suatu tindakan baik, yang akan dibahas dalam BAB II

BAB II
PEMBAHASAN
A.  LANDASAN TEORI

Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
B.     PEMBAHASAN
Pemberontakan batalion PETA di Blitar
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemberontakan PETA BlitarPada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun Heiho. Supriadi, pimpinan pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan sejarah, Muradi, tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh Kempeitai (PM), diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Eevereld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETASumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tanggal 7 September 1943, Gatot Mangunpraja ,mengajukan permohonan kepada Gunseikan yang menurut sumber tertentu ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Gatot memohon agar dibentuk kesatuan bersenjata di kalangan penduduk sendiri. Beberapa hari kemudian sejumlah alim ulama juga mengajukan permohonan yang sama mereka diantaranya K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Moh. Sadri yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Dengan alasan itu, kemudian Saiko Syikikan dan Gunseikan menyetujui pendirian PETA.
Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
1.      Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
2.      Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
3.      Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang
4.      Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)
5.      Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
Bendera PETA
Pengumuman mengenai pembentukan PETA itu dinyatakan bahwa seluruh anggotanya, baik prajurit maupun perwira terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan PETA akan dibentuk pada setiap Syu (Keresidenan) untuk membela daerah tersebut. Penyebarluasan berita pembentukan PETA dan syarat-syarat menjadi anggota PETA ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa. Penyebabnya karena PETA tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti yang di haruskan Heiho, tetapi lebih mengutamakan kecakapan memimpin dan mengatur rombongan.
Mengenai umur hanya disebutkan untuk calon Komandan Peleton harus berumur dibawah 30 tahun dan untuk calon Komandan Regu dan Prajurit harus di bawah 25 tahun. Namun, mereka yang diterima menjadi Komandan Batalyon adalah tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh kuat pada suatu daerah tertentu seperti tokoh-tokoh agama, guru dan sebagainya. Para calon perwira dilatih di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Resentai mulai bulan Oktober 1943, dan selanjutnya pada bulan April, bulan Juli 1944, dan seterusnya. Mereka dibagi dalam tiga kelompok, yaitu calon Komandan Batalyon (Daidanco), Komandan Kompi (Gudanco), dan Komandan Peleton (Syudanco). Angkatan pertama menyelesaikan latihan dan dilantik pada bulan Desember 1943.
Sebenarnya untuk apa Jepang menyetujui pembentuka PETA? Dari sudut pandang Jepang, PETA dimaksudkan sebagai alat untuk mempertahankan Indonesia terhadap kemungkinan pendaratan Sekutu.
Di seluruh wilayah yang didudukinya, Jepang menderita kekalahan yang mengejutkan, dan menjadi lemah. Mereka ingin sekali memberi dukungan pada prajurut mereka dengan para pemuda Indonesia yang tidak pernah mendapat pendidikan Belanda dan dengan demikian tidak memiliki perasaan pro Barat. Secara teoritis, orang Indonesia yang sederhana, tidak berpendidikan dan bersifat kekanak-kanakan itu akan mudah diperlakukan sesuai kehendak Jepang. Mereka akan diindoktrinasi untuk membenci Barat dan dilatih bagaimana bertempur.
Komando Tinggi Jepang menyetujui pembentukan PETA, agar mempersiapkan penduduk asli untuk melawan Sekutu seandainya invasi mereka berlangsung. Jauh lebih baik, demikian pikir para Jenderal Jepang itu, darang bangsa Indonesia yang tertumpah daripada darah bangsa Jepang.
Bagi Soekarno, PETA merupakan kesempatan bagi rakyat yang tidak terlatih menjadi tentara yang andal. Untuk pertama kali bangsa Indonesia belajar menggunakan senapan, untuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka akan diajari disiplin militer, dilatih perang gerilya, bagaimana menghadang musuh, bagaimana menembakan senapan dalam posisi merangkak, bagaimana merakit granat buatan sendiri dengan menggunakan tempurung yang diisi bensin. Mereka berlatih bagaimana berperang melawan musuh- siapapun musuh yang mereka hadapi.
Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk mencari calon-calon perwira. Dia segera memanfaatkan kesempatan ini. Argumentasinya, bagwa seseorang tidak akan secara sukarela mempertahankan negerinya, kecuali dia seorang patriot yang penuh semangat. Perasaan kebencian terhadap Sekutu yang akan ditanamkan Jepang harus diperkuat dengan perasaan cinta kepada Tanah Air yang sifatnya positif sebagaimana yang diajarkannya.
Setelah diyakinkan seperti itu, Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk memberikan dan menjamin nama-nama orang yang memiliki kesetiaan terhadap Tanah Air.
Soekarno pun memilih para pemimpin seperti Gatot Mangunpraja, seorang pemberontak PNI yang bersamanya dipenjara di tahun 1929. Soekarno juga memilih orang-orang muda yang dapat dikendalikannya dan nantinya dapat menjadi pahlawan-pahlawan revolusi. Soekarno lah yang pada akhir 1943 mengusulkan orang-orang yang nantinya menjadi kolonel dan jenderal dalam Tentara Nasional Indonesia.
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;
(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.

Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya.
Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.

BAB III
PENUTUP

            A. KESIMPULAN
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang
Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;
(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.

Inti dari pembentukan PETA yaitu untuk membela tanah air agar masyarakat terlindungi dari bahaya apapun.