BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Organisasi merupakan sub
dari suatu lembaga. Organisasi itu sendiri adalah kelompok orang yang secara
bersama – sama ingin mencapai tujuan yang sama, pada hakikatnya organisasi
adalah adanya orang – orang yang usahanya harus dikoordinasikan tersusun dari
sejumlah sub system yang saling berhubungan dan saling berkerja sama atas dasar
pembagian kerja, peran dan serta mempunyai tujuan tertentu.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa organisasi memiliki tiga unsur
dasar, dan secara lebih rinci organisasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal dan saling mengenal,
b. Adanya kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan kesatuan kegiatan,
c. Tiap-tiap orang memberikan sumbangan atau kontribusinya berupa; pemikiran, tenaga, dan lain-lain,
d. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan,
e. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
a. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal dan saling mengenal,
b. Adanya kegiatan yang berbeda-beda, tetapi satu sama lain saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan kesatuan kegiatan,
c. Tiap-tiap orang memberikan sumbangan atau kontribusinya berupa; pemikiran, tenaga, dan lain-lain,
d. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan,
e. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
PETA ( Pembela
Tanah Air )
PETA
dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1944 atas usul Gotot Mangkupraja kepada
Letjend. Kumakici Harada ( Panglima Tentara Ke - 16). PETA di Sumatera dikenal
dengan Gyugun.
Pembentukan
PETA ini berbeda dengan organisasi lain bentukan Jepang. Anggota PETA terdiri
atas orang Indonesia yang mendapat pendidikan Militer Jepang. PETA bertugas
mempertahankan Tanah Air Indonesia. PETA merupakan tentara garis kedua. Di Jawa
dibentuk 50 Batalion PETA. Jabatan Komando Batalion dipegang oleh orang
indonesia tetapi setiap Komandan ada Pelatih dan Penasihat Jepang. Tokoh –
Tokoh PETA yang terkenal antara lain Supriyadi, Jenderal Sudirman, Jenderal
Gatot Subroto, dan Jenderal Ahmad Yani.
B. MASALAH
Yang
jadi permasalahan pada PETA yaitu mengapa PETA harus dibubarkan, padahal PETA sudah
termasuk suatu organisasi yang positif dimata masyarakat karena pembelaan peta
terhadap tanah air merupakan suatu tindakan baik, yang akan dibahas dalam BAB
II
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN TEORI
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden
Gatot Mangkupradja
kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada
bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia
diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya,
banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi
anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan
strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan
bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran "Asia
Raya"
pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan
sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul
Karim Amrullah
(HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul
Madjid,
Guru H.
Jacob,
K.H. Djunaedi, U.
Mochtar
dan H. Mohammad
Sadri,
yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang
akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan
agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan
agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang
berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau
bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
B. PEMBAHASAN
Pemberontakan batalion PETA di Blitar
Artikel
utama untuk bagian ini adalah: Pemberontakan PETA BlitarPada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan sebuah pemberontakan.
Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang
tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun Heiho. Supriadi, pimpinan
pasukan pemberontak tersebut, menurut sejarah Indonesia dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Akan
tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan
sejarah, Muradi, tetap bersama dengan
pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa
selama penahanan oleh Kempeitai (PM), diadili dan dihukum
mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum
militer Tentara
Kekaisaran Jepang di
Eevereld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.
Pembubaran PETA
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia,
berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara
Kekaisaran Jepang
memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan
senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden
Republik Indonesia
yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini
ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu
bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang
diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara
Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano
Yuichiro,
mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Pemuda
Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETASumbangsih dan peranan tentara
PETA dalam masa Perang
Kemerdekaan Indonesia
sangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan
Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan
presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting
pembentukan Tentara Nasional
Indonesia
(TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara
Keselamatan Rakyat, Tentara Republik
Indonesia
(TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen
PETA
yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tanggal
7 September 1943, Gatot Mangunpraja ,mengajukan permohonan kepada Gunseikan yang menurut sumber
tertentu ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Gatot memohon agar dibentuk
kesatuan bersenjata di kalangan penduduk sendiri. Beberapa hari kemudian
sejumlah alim ulama juga mengajukan permohonan yang sama mereka diantaranya
K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur,
Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan
H. Moh. Sadri yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib
militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Dengan alasan itu, kemudian Saiko Syikikan dan Gunseikan menyetujui pendirian PETA.
Pendirian
PETA didasarkan pada maklumat Osamu
Seirei Nomor 44 yang
diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai
Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
1. Kesatu, Tentara Pembela
Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
2. Kedua, Tentara Pembela
Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
3. Ketiga, Tentara Pembela
Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima
Tentara Jepang
4. Keempat, Tentara Pembela
Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan
wilayahnya (syuu)
5. Kelima, Tentara Pembela
Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
Bendera PETA
Pengumuman
mengenai pembentukan PETA itu dinyatakan bahwa seluruh anggotanya, baik
prajurit maupun perwira terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan PETA
akan dibentuk pada setiap Syu (Keresidenan) untuk membela daerah tersebut.
Penyebarluasan berita pembentukan PETA dan syarat-syarat menjadi anggota PETA
ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa.
Penyebabnya karena PETA tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti
yang di haruskan Heiho, tetapi
lebih mengutamakan kecakapan memimpin dan mengatur rombongan.
Mengenai
umur hanya disebutkan untuk calon Komandan Peleton harus berumur dibawah 30
tahun dan untuk calon Komandan Regu dan Prajurit harus di bawah 25 tahun.
Namun, mereka yang diterima menjadi Komandan Batalyon adalah tokoh-tokoh yang
mempunyai pengaruh kuat pada suatu daerah tertentu seperti tokoh-tokoh agama,
guru dan sebagainya. Para calon perwira dilatih di kompleks militer Bogor yang
diberi nama Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu
Resentai mulai bulan Oktober 1943, dan selanjutnya pada bulan April,
bulan Juli 1944, dan seterusnya. Mereka dibagi dalam tiga kelompok, yaitu calon
Komandan Batalyon (Daidanco),
Komandan Kompi (Gudanco), dan
Komandan Peleton (Syudanco).
Angkatan pertama menyelesaikan latihan dan dilantik pada bulan Desember 1943.
Sebenarnya
untuk apa Jepang menyetujui pembentuka PETA? Dari sudut pandang Jepang, PETA
dimaksudkan sebagai alat untuk mempertahankan Indonesia terhadap kemungkinan
pendaratan Sekutu.
Di
seluruh wilayah yang didudukinya, Jepang menderita kekalahan yang mengejutkan,
dan menjadi lemah. Mereka ingin sekali memberi dukungan pada prajurut mereka
dengan para pemuda Indonesia yang tidak pernah mendapat pendidikan Belanda dan
dengan demikian tidak memiliki perasaan pro Barat. Secara teoritis, orang
Indonesia yang sederhana, tidak berpendidikan dan bersifat kekanak-kanakan itu
akan mudah diperlakukan sesuai kehendak Jepang. Mereka akan diindoktrinasi
untuk membenci Barat dan dilatih bagaimana bertempur.
Komando
Tinggi Jepang menyetujui pembentukan PETA, agar mempersiapkan penduduk asli
untuk melawan Sekutu seandainya invasi mereka berlangsung. Jauh lebih baik,
demikian pikir para Jenderal Jepang itu, darang bangsa Indonesia yang tertumpah
daripada darah bangsa Jepang.
Bagi
Soekarno, PETA merupakan kesempatan bagi rakyat yang tidak terlatih menjadi
tentara yang andal. Untuk pertama kali bangsa Indonesia belajar menggunakan
senapan, untuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka akan diajari disiplin
militer, dilatih perang gerilya, bagaimana menghadang musuh, bagaimana
menembakan senapan dalam posisi merangkak, bagaimana merakit granat buatan
sendiri dengan menggunakan tempurung yang diisi bensin. Mereka berlatih
bagaimana berperang melawan musuh- siapapun musuh yang mereka hadapi.
Komando
Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk mencari calon-calon perwira. Dia segera
memanfaatkan kesempatan ini. Argumentasinya, bagwa seseorang tidak akan secara
sukarela mempertahankan negerinya, kecuali dia seorang patriot yang penuh
semangat. Perasaan kebencian terhadap Sekutu yang akan ditanamkan Jepang harus
diperkuat dengan perasaan cinta kepada Tanah Air yang sifatnya positif
sebagaimana yang diajarkannya.
Setelah
diyakinkan seperti itu, Komando Tinggi Jepang meminta Soekarno untuk memberikan
dan menjamin nama-nama orang yang memiliki kesetiaan terhadap Tanah Air.
Soekarno
pun memilih para pemimpin seperti Gatot Mangunpraja, seorang pemberontak PNI
yang bersamanya dipenjara di tahun 1929. Soekarno juga memilih orang-orang muda
yang dapat dikendalikannya dan nantinya dapat menjadi pahlawan-pahlawan
revolusi. Soekarno lah yang pada akhir 1943 mengusulkan orang-orang yang
nantinya menjadi kolonel dan jenderal dalam Tentara Nasional Indonesia.
Para pemuda yang menjadi
anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.
Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya.
Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembentukan PETA dianggap
berawal dari surat Raden Gatot
Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang)
pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa
Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perangPara pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu;
(1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi,
(2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan
(3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh.
Inti dari pembentukan PETA yaitu untuk membela tanah air agar masyarakat terlindungi dari bahaya apapun.
0 komentar:
Posting Komentar